Rabu, 22 Agustus 2018

Saat semuanya terlihat sama

Disini aku termenung meratap sunyi. Denganmu bersama kerabat yang kau anggap seperti saudara se-ibu, dan mereka sekalian yang kau jadikan saudara dari keluarga besarmu.

Tiang dari fiber ini menjadi teman cerita punggungku selama setengah jam lamanya. Terpuruk, tenggalam dalam keramaian kepala yang tak kelihatan tubuhnya.
Semuanya terlihat sama dari masing-masing kelompoknya, tak ada yang bergerak, tak sedikit pun beranjak, tak henti-hentinya berteriak, rasanya aku ingin mengeluarkan riak.

Cuiihh.


22 Juli 201

Teruntuk kau, puan ku

Teruntuk kau, puan ku.
Kau tahu mengapa sengajaku terjang hujan? Sebab, aku suka hujan jatuh ke tanah daripada hujan dimatamu.

Bukan bermaksud membuat kau tersenyum. Bukan juga kagum. Tapi, hanya kau dan aku yang dapat merangkum. Membuat perasaan ini menguntum.

Jika hujan turun ke tanah, jangan beri tahu aku. Aku sudah tahu. Jika hujan jatuh dimatamu. Cepat beritahu aku. Bukan untuk ku habisi orang yang menciptakannya. Melainkan akan ku buat riang orang itu, agar ia tahu betapa berharganya sebuah senyum yang timbul dari hati.

Hujan diawal Agustus malam

Di puisiku ada kamu

Entah dengan puisi atau tidak, aku tetap mencintaimu. Sampai seluruh kata-kataku tiada. Dan yang perlu kau tahu, kata-kataku tiada jeda.

Puisiku bukan soal yang terhebat. Ku buat dengan kejujuran sangat. Aku tak pernah peduli lolongan-lolongan laknat. Baiknya, kita jalani saja, bila perlu sampai usai kiamat.

Apakah kau tahu aku tak pernah menaruh hati pada puisi-puisiku? Sebab, puisiku dihati, bukan hatiku dipuisi. Tak sepantasnya ku balikkan hati ini.

Kau, cintaku

Dengan alasan cinta mereka mampu melakukan hal diluar batas kewarasan
Dengan alasan cinta mereka mampu berbaik hati tak seperti kebaikannya
Dengan alasan cinta mereka mampu berbuat buruk tak seperti keburukannya
Dengan alasan cinta mereka mencoba menjadi siapapun, membuat lawannya senang

Itu semua dengan alasan
Aku mencintaimu tanpa alasan
Aku mencintaimu dengan yang aku miliki
Meski sedikit, berharap tak jadi sakit
Aku tak pernah berusaha menjadi siapa dan
bagaimana untuk selayaknya kau cintai.

14 agustus 2018

Rindu hujan lalu

Adalah aku yang masih merindukanmu, tetap merindukanmu, dan selalu merindukanmu. Disetiap deru nafasku menjadikan alunan nada-nada yang membentuk anggota tubuhmu. Bermaksud mengusir rindu dengan segala macam hulu.
*
Biarkan kemarau selalu memayungimu. Merindukan hujan yang tak kunjung temu. Tanah ini sudah rindu akan tetes-tetesannya. Aku rindu khas bau tanah ketika bertemu air. Aku benci debu, ia hanya menjadikan aku dimatamu tabu. Menjadikan aku dinafasmu bersedu-sedu.

Hujan hanyalah sebuah harapan yang disampaikan langit kepada awan mendung dengan kedatangannya yang tak pasti. Tapi aku suka itu, aku belajar untuk bertahan meski bertahun, tambah sabar dan perlahan tumbuh subur.
*
Jikalau aku seorang kartunis maka akan kubuat pecahan matamu didalam sebidang kertas yang berwarna jingga merona. Mewarnai aku, menjadikan penuh disaat aku kosong. Bersabda kepada langit sore dengan lukisan matamu ini.

Jangan mudah percaya dengan kejujuran. Menyelamlah ke dialognya dan temukan hujan yang selalu basah ditenggorokannya. Cintailah hujan; selalu tabah dan tidak mudah dikira.

Dia meninggalkanmu agar bisa merindukanmu. Sampai akhirnya temu; membuktikan mana yang lebih tabah, hujan atau matamu.
*
Aku selalu merindukanmu, tetap merindukanmu, dan masih merindukanmu meski hujan tak kunjung temu, meski langit tak lagi sendu, meski aku tak ada lagi dimatamu.

18 Juli 2018

Matamu yang memancarkan warna-warni hitam putih

Disepasang bola matamu aku melihat senang, sedih, sendu, bahagia yang tak pernah ada pura-pura lagi. Semua lengkap dimatamu. Seluruh aku pun sepakat, bahwa kau kesempurnaan untukku sepaket.

Kerap ku lihat matamu, doaku terlantun diam-diam. Terbang, dibawa sang malaikat. Setelahnya, aku melihat senyummu yang melekat.

Tiba saatnya; mataku menatap matamu, begitu sebaliknya. Keheningan menjadi musik pengiring tarian kita yang diam. Kebahagiaan mengisi dikepala bagian dalam.

Jika kedua bola mata kita bertemu, aku tak pernah bisa berbohong tentang ada apa ditubuhku. Apakah tatto atau panu. Aku seperti telanjang; tak mampu menutupi
bahwa aku benar-benar mencintaimu. Sebegininya mencintaimu.

Akhirnya aku menemukanmu. Rumah; berawal masing-masing, dan tak pernah membuatku asing.

21 Agustus 2018

Senin, 16 Juli 2018

Menyusun Rindu

Diberanda rumah ini kau memecahkan rindu yang telah ku rangkai rapih sedari lama, tanpa kata dan aba-aba kau datang secara tiba-tiba. Mencercah segala kekhawatiran yang pernah ada, memenggal linear jarak antara kita.

Tentunya kau tau bukan, rindu ini sudah lama ku lahirkan, ku rawat, ku beri makan, dan ku sekolahkan agar tak tertipu daya oleh hal semu di kemudian hari.

Cemas ku, jika kau tak menyadari semua itu. Kau tetap asyik memikirkan hak sepatumu agar bisa berjalan tegak diatas conblock teras rumah ku.

Oh kasih..
Apakah kau lupa jika kita memiliki ruang kedap suara yang tak akan ada siapapun mampu mendengar percakapan kita disitu.
Maka, telanjanglah. Telanjangkanlah lidahmu itu.
Tak ada siapapun mampu melihat kita, mampu melihat eloknya tubuhmu.
Maka, masuklah kasih.

Apakah kau jua

Apakah kau pernah merasakan kesepian
Berada ditengah ramainya kerumunan
Tak ada fikiran yang terlisankan
Semua disenggamai jaringan

Apakah kau pernah merasakan rindu
Dengan segala kesenangan dahulu
Tertawa, riang selalu
Hampir tak sedikit pun merasa pilu

Apakah kau pernah merasakan bahagia
Langkahmu tertatih-tatih melata
Matamu meneteskan cerita lama
Buta, sok tahu tentang aksara

Apakah kau pernah merasakan hal yang indah
Menghirup udara fajar merekah
Melihat warna semesta yang gundah
Melangkah di bumi yang mulai mendesah

Apakah kau pernah merasakan takut
Sendiri diufuk kabut
Hanya mendengar suara siut
Kesana-kemari kalang kabut

Apakah kau pernah merasakan sadar
Bersyukur tumbuh besar
Alpa dalam perjalanan yang sebentar
Membuat keyakinan lama terkapar

Apakah kau pernah merasakan sesal
Atas emosi yang sekejap berbual
Emosi sekejap; warasnya baal
Rasanya tai, terucap kebabal

Apakah kau pernah merasakan dingin
Rasanya ingin membakar seluruh badan-biar mati tertiup angin
Apakah kau pernah merasakan panas
Bergejolak dingin yang buas

Apakah kau pernah merasakan rindu ibu
Sarapan pagi cemoohan menyembilu
Tak cukup rasanya diceritakan dalam buku
Seketika tanganku kaku, lidahku kelu

Bila kau sama merasakannya, ku rasa kita tak jauh berbeda

Bunyi yang sembunyi

Suatu saat kelak kesalahanku tak kan lagi kau ingat. Seperti anak balita yang tak tahu bagaimana Ibu menahan rasa sakit robek dari sebagian tubuhnya, menekan seluruh nafsu kepusat kemaluannya; anak balita itu tertawa riang, berangkang, dan celantang meraih botol susu yang diisi pembasmi hama kehidupan oleh Ibunya.

Aku lahir dari amarah Ibu yang dibualkan kepada cermin, ke dirinya sendiri. Senyum Ibu yang dipalsukan ke setiap insan yang dijumpai. Kau lahir dari ucapanku yang terdengar dalam kesepian. Seperti nyala jangkrik ditengah persawahan. Gelap.
Kau ditemukan setelah lariku setengah dekade dalam kesunyian. Kemudian dikembangbiakan oleh genggaman tangan kita yang perlahan mulai erat, dan kemudian memudar karena raga menua.

Bertahan bertahun-tahun dalam sepi sangat mudah. Perlu hektaran ladang sandiwara yang siap kerap kali akan kau garap.
Kini ku menemui mu, seorang pengusaha yang membeli hektaran ladang sandiwara ku. Tanyaku, apa rencana mu disini? Apa yang mau kau bangun disini? Apa yang akan kita bangun disini?
Jika kau hanya ingin menabung disini, memiliki saham ladang tuk kemudian kau jual lagi nanti. Baiknya tak ku jual.
Tak kan ku jual.

Kesaksianku saat final pildun dan bertepatan saat bertambahnya usiaku

Kamis, 28 Juni 2018

Mencintaimu


Aku mencintaimu dengan sederhana
Memperhatikanmu dengan huruf-hurufku,
merindukanmu dengan tanda bacaku,
mendoakanmu dengan kedua tanganku

Aku mencintaimu dengan sederhana
Menjadikan setiap sajakku menjelma menjadi angin,
yang meniupkan segala harapanku ke jiwamu

Aku mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana kata-kataku

Hadir

Perasaan ini mulai hadir (lagi)
Di ombang-ambing, dilanda kepanikan
Apakah hanya aku yang merasakan
Sementara kau asyik menyaksikan

Perasaan ini mulai hadir (lagi)
Selayaknya bulan yang terlihat dalam kegelapan
Tak mampu ditutupi sinarnya meski perlahan
Karena ia sadar itulah keindahan

Perasaan ini mulai hadir (lagi)
Perasaan ini mulai hadir (lagi)
Aku masih meniti
Kau sudah ahli