Senin, 16 Juli 2018

Bunyi yang sembunyi

Suatu saat kelak kesalahanku tak kan lagi kau ingat. Seperti anak balita yang tak tahu bagaimana Ibu menahan rasa sakit robek dari sebagian tubuhnya, menekan seluruh nafsu kepusat kemaluannya; anak balita itu tertawa riang, berangkang, dan celantang meraih botol susu yang diisi pembasmi hama kehidupan oleh Ibunya.

Aku lahir dari amarah Ibu yang dibualkan kepada cermin, ke dirinya sendiri. Senyum Ibu yang dipalsukan ke setiap insan yang dijumpai. Kau lahir dari ucapanku yang terdengar dalam kesepian. Seperti nyala jangkrik ditengah persawahan. Gelap.
Kau ditemukan setelah lariku setengah dekade dalam kesunyian. Kemudian dikembangbiakan oleh genggaman tangan kita yang perlahan mulai erat, dan kemudian memudar karena raga menua.

Bertahan bertahun-tahun dalam sepi sangat mudah. Perlu hektaran ladang sandiwara yang siap kerap kali akan kau garap.
Kini ku menemui mu, seorang pengusaha yang membeli hektaran ladang sandiwara ku. Tanyaku, apa rencana mu disini? Apa yang mau kau bangun disini? Apa yang akan kita bangun disini?
Jika kau hanya ingin menabung disini, memiliki saham ladang tuk kemudian kau jual lagi nanti. Baiknya tak ku jual.
Tak kan ku jual.

Kesaksianku saat final pildun dan bertepatan saat bertambahnya usiaku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar