Senin, 16 Juli 2018

Menyusun Rindu

Diberanda rumah ini kau memecahkan rindu yang telah ku rangkai rapih sedari lama, tanpa kata dan aba-aba kau datang secara tiba-tiba. Mencercah segala kekhawatiran yang pernah ada, memenggal linear jarak antara kita.

Tentunya kau tau bukan, rindu ini sudah lama ku lahirkan, ku rawat, ku beri makan, dan ku sekolahkan agar tak tertipu daya oleh hal semu di kemudian hari.

Cemas ku, jika kau tak menyadari semua itu. Kau tetap asyik memikirkan hak sepatumu agar bisa berjalan tegak diatas conblock teras rumah ku.

Oh kasih..
Apakah kau lupa jika kita memiliki ruang kedap suara yang tak akan ada siapapun mampu mendengar percakapan kita disitu.
Maka, telanjanglah. Telanjangkanlah lidahmu itu.
Tak ada siapapun mampu melihat kita, mampu melihat eloknya tubuhmu.
Maka, masuklah kasih.

Apakah kau jua

Apakah kau pernah merasakan kesepian
Berada ditengah ramainya kerumunan
Tak ada fikiran yang terlisankan
Semua disenggamai jaringan

Apakah kau pernah merasakan rindu
Dengan segala kesenangan dahulu
Tertawa, riang selalu
Hampir tak sedikit pun merasa pilu

Apakah kau pernah merasakan bahagia
Langkahmu tertatih-tatih melata
Matamu meneteskan cerita lama
Buta, sok tahu tentang aksara

Apakah kau pernah merasakan hal yang indah
Menghirup udara fajar merekah
Melihat warna semesta yang gundah
Melangkah di bumi yang mulai mendesah

Apakah kau pernah merasakan takut
Sendiri diufuk kabut
Hanya mendengar suara siut
Kesana-kemari kalang kabut

Apakah kau pernah merasakan sadar
Bersyukur tumbuh besar
Alpa dalam perjalanan yang sebentar
Membuat keyakinan lama terkapar

Apakah kau pernah merasakan sesal
Atas emosi yang sekejap berbual
Emosi sekejap; warasnya baal
Rasanya tai, terucap kebabal

Apakah kau pernah merasakan dingin
Rasanya ingin membakar seluruh badan-biar mati tertiup angin
Apakah kau pernah merasakan panas
Bergejolak dingin yang buas

Apakah kau pernah merasakan rindu ibu
Sarapan pagi cemoohan menyembilu
Tak cukup rasanya diceritakan dalam buku
Seketika tanganku kaku, lidahku kelu

Bila kau sama merasakannya, ku rasa kita tak jauh berbeda

Bunyi yang sembunyi

Suatu saat kelak kesalahanku tak kan lagi kau ingat. Seperti anak balita yang tak tahu bagaimana Ibu menahan rasa sakit robek dari sebagian tubuhnya, menekan seluruh nafsu kepusat kemaluannya; anak balita itu tertawa riang, berangkang, dan celantang meraih botol susu yang diisi pembasmi hama kehidupan oleh Ibunya.

Aku lahir dari amarah Ibu yang dibualkan kepada cermin, ke dirinya sendiri. Senyum Ibu yang dipalsukan ke setiap insan yang dijumpai. Kau lahir dari ucapanku yang terdengar dalam kesepian. Seperti nyala jangkrik ditengah persawahan. Gelap.
Kau ditemukan setelah lariku setengah dekade dalam kesunyian. Kemudian dikembangbiakan oleh genggaman tangan kita yang perlahan mulai erat, dan kemudian memudar karena raga menua.

Bertahan bertahun-tahun dalam sepi sangat mudah. Perlu hektaran ladang sandiwara yang siap kerap kali akan kau garap.
Kini ku menemui mu, seorang pengusaha yang membeli hektaran ladang sandiwara ku. Tanyaku, apa rencana mu disini? Apa yang mau kau bangun disini? Apa yang akan kita bangun disini?
Jika kau hanya ingin menabung disini, memiliki saham ladang tuk kemudian kau jual lagi nanti. Baiknya tak ku jual.
Tak kan ku jual.

Kesaksianku saat final pildun dan bertepatan saat bertambahnya usiaku